Berita Keuangan – Penggunaan Mata Uang Lokal

Bank Indonesia dan Bank Central China (PBOC) menjalin kerjasama dalam pembayaran transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung atau Local Currency Settlement dengan menggunakan mata uang lokal kedua negara yaitu Yuan dan Rupiah. Tentu saja kesempatan ini berpotensi mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat . Selengkapnya akan kami ulas untuk anda dalam Bye Dolar! RI – China Pakai Mata Uang Lokal. 

PBOC dan Bank Indonesia telah menyepakati pembentukan kerangka kerjasama untuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung atau Local Currency Settlement (LCS). Hal tersebut meliputi penggunaan kuotasi nilai tukar secara langsung dan perdagangan antar bank untuk mata uang yuan dan rupiah. 

Kerjasama ini akan diperkuat melalui share informasi dan diskusi secara berkala antara otoritas China dan Indonesia.  Nah, kesempatan tersebut akan memperluas kerangka kerjasama LCS yang telah ada antara BI dengan Bank of Thailand, Bank of Negara Malaysia, dan Kementrian Keuangan Jepang. Lantas pertanyaannya; apa sih keuntungan perjanjian currency SWAP antara Indonesia dengan China? Nah, penggunaan mata uang lokal dalam investasi dan perdagangan ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar AS yang biasa dipakai dalam transaksi Internasional. Sebagai gambaran untuk anda nih praktek umum yang berlaku adalah importir di mana investor melakukan konversi mata uang lokal ke dolar AS baru kemudian berdagang atau berinvestasi.

Hal ini menimbulkan risiko kurs, misalnya saat dolar menguat terhadap rupiah maka importir di Indonesia harus mengeluarkan Rupiah yang lebih banyak padahal produk yang akan dibeli berasal dari negara yang tidak menggunakan dolar AS. Jadinya, dengan menggunakan mata uang lokal Rupiah dan Yuan ini bisa menghilangkan adanya risiko kurs tersebut. Selain itu kerjasama penggunaan mata uang lokal dengan cara ini menjadi penting karena Negeri Tirai Bambu adalah negara mitra dagang utama Indonesia. Kedua negara ini jadinya nggak perlu lagi untuk menggunakan dolar AS dalam berdagang dan kemudian dikonversi ke mata uang masing-masing. 

Sementara itu ketergantungan yang tinggi terhadap dolar AS berpotensi mendorong peningkatan volatilitas dari mata uang negara berkembang termasuk Rupiah. Jadi kalau terjadi sentimen negatif yang berkembang di pasar keuangan global, akan memicu keluarnya dana asing dari pasar keuangan negara berkembang yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan volatilitas. Dengan perjanjian currency swap ini maka tekanan terhadap rupiah ini menjadi berkurang. Sebagai informasi sejak akhir 2019 secara year to date nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah melemah hingga 6,84%. Nah, saat kebutuhan terhadap dolar AS berkurang salah satunya dengan memanfaatkan kerjasama penggunaan mata uang lokal ini, maka depresiasi rupiah ini bisa diminimalkan.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, impor Indonesia dari China selama tahun 2019 di sekitar 44,9 miliar dolar AS. Rata-rata setiap tahun Indonesia memang mencatat nilai impor sekitar 30 hingga 4 puluhan miliar dolar AS. Kalau dibandingkan dengan total nilai impor Indonesia secara kumulatif di 2019, nilainya mencapai 170,7 miliar dolar AS. Maka, porsi nilai impor Indonesia dari China terbilang cukup besar kalau kita lihat ini mencapai 26,3%. Jadi jika perdagangan dengan China dapat dilakukan menggunakan mata uang lokal, maka dapat dibayangkan penggunaan dolar yang bisa dihemat dengan adanya perjanjian penggunaan mata uang lokal dengan China. 

Karena China merupakan salah satu negara asal impor terbesar Indonesia, jadi kalau kita impor barang dari China dengan menggunakan mata uang lokal itu tentu saja juga bakal membantu untuk mengurangi ketergantungan dolar Amerika Serikat. 

Kita lihat lagi di slide selanjutnya. Nah, dolar AS selama ini kan dipandang sebagai mata uang dominan karena jauh lebih banyak digunakan ketimbang mata uang negara lainnya. Namun, belakangan mata uang China Yuan ini juga mulai menunjukkan kekuatannya.  Morgan Stanley memperkirakan peningkatan investasi asing ke pasar China ini dapat meningkatkan penggunaan mata uang Yuan dan mendorongnya menjadi cadangan mata uang terbesar ketiga di dunia setelah dolar AS dan juga Euro. 

Dengan investasi yang lebih banyak, aset global akan disimpan dalam Yuan. Pemerintah China secara internasional memegang erat penggunaan mata uang Yuan termasuk mencegah sejumlah modal besar meninggalkan negara itu. Menurut analisis Morgan Stanley, pemerintah China memang selalu bertahun – tahun mencoba untuk mempromosikan penggunaan Yuan atau yang dikenal sebagai Renminbi. Saat ini saja Yuan menyumbang sekitar 2% dari aset cadangan devisa dunia. Pangsa cadangan mata uang Yuan ini hampir tidak berubah sejak menjadi mata uang cadangan dunia pada tahun 2016. Sementara kalau kita bandingkan dengan dolar AS, ini tetap menjadi mata uang cadangan dominan dunia yaitu 60,8% dari cadangan yang dialokasikan pada kuartal terakhir tahun 2019. Namun angka pangsa pasar Yuan di aset cadangan devisa dunia tersebut diprediksi bisa naik hingga mencapai 5% – 10% di tahun 2030. 

Kalau itu benar terjadi, maka akan melampaui level Yen Jepang dan Pound Inggris. Tapi target 5 hingga 10% ini bukan tidak realistis. Morgan Stanley melihat bahwa dengan pembukaan pasar keuangan China, integrasi pasar modal lintas batas yang berkembang di seluruh ekuitas dan pendapatan tetap, serta peningkatan proporsi transaksi lintas batas China yang berdenominasi Renminbi, maka ini akan memperkukuh penggunaan mata uangnya. Sementara itu menurut ahli strategi investasi senior di countable asset management Spin Scrubber, ada sejumlah faktor yang bisa meningkatkan dominasi Yuan di kancah global yaitu teknologi dan dukungan investasi salah satunya melalui program pinjaman Belt dan Road-nya.